Hashtag #Uninstall, Brand Startup, dan Platform Twitter

Aries Santoso
5 min readNov 30, 2019

Dan terjadi lagi…kisah lama yang terulang kembali…

Platform andalan para kaum rebahan kembali mengundang perhatian khalayak ramai. Terlebih lagi media mainstream ikut juga mewartakan hal yang sepertinya receh tapi tetap buat orang penasaran.

Sekarang ini media-media berita seperti kurang bahan, apapun yang berpotensi laku di pasar, dibuatkan artikel yang tujuannya adalah trafik. Ah seperti ini sudah hal biasa ternyata. Tidak perlu memikirkan korban, selama menjadi trafik, sikat saja.

Apalagi ketika sepi berita hot, maka apapun bisa dibuat lebih hot dengan perpaduan judul clickbait dan isi yang tidak berbobot. Namun kenapa mereka seperti itu? Ya karena banyak yang membaca, banyak yang tertarik dengan berita-berita receh.

Dengan data yang ada, tentu redaksi tak ambil pusing, audience suka berita receh, ya lebih baik buat receh saja dibanding buat informasi berbobot yang hasilnya tidak sebanding dengan usaha membuatnya.

Oke semakin melenceng saja bahasannya. Nanti coba kita bicarakan tentang pergeseran media-media saat ini. Sekarang kembali ke topik yang menjadi bahan tulisan saya saat ini.

Hashtag #Uninstall

Hari ini, tanggal 30 Nov 2019 saya seperti biasa mengecek sejumlah media sosial seperti twitter. Kenapa sejumlah media sosial yang dicek? Karena masing-masing punya audience nya masing-masing. Instagram yang berelasi dengan sebuah gambar, Youtube dengan videonya dan Twitter menjadi platform untuk tulisan singkat sederhana.

Dan kali ini sedang hangat trending topic di twitter dengan hashtag #UninstallTokopedia. Sebuah hashtag layaknya ajakan kepada hal yang negatif.

Hashtag semacam ini juga pernah terjadi sebelumnya. Korbannya juga mereka para aplikasi yang entah punya salah apa.

Setelah saya telusuri, kebanyakan beralasan bahwa Tokopedia mengundang salah seorang bernama Haikal Hasan pada salah satu event yang disponsori olehnya.

What? Apa tidak ada alasan yang cukup menggugah? Memang apa yang dilakukan Haikal Hasan di acara tersebut?

Padahal setiap harinya aplikasi tersebut selalu berbenah. Dari mulai membersihkan diri dari bug system, meningkatkan atau menambahkan fitur yang bermanfaat, dan setidaknya mereka sudah membantu kita dalam hal kepraktisan. Ini bisa berlaku kepada aplikasi lainnya ya, bukan hanya Tokopedia.

Perbaikan demi perbaikan tidak didapatkan dari sebuah hal yang instan, melainkan proses yang panjang dan banyak pihak yang terlibat.

Tentu sebuah aplikasi semacam Tokopedia ini berbeda dengan banyak aplikasi yang tak terawat di Play Store. Bahkan banyak aplikasi yang justru lebih merugikan kita sebagai pengguna.

Seperti aplikasi yang ternyata punya malware yang bisa saja membajak semua password akun kita. Atau aplikasi pinjaman online yang nyatanya membuat gaduh dan menciptakan banyak korban diluar sana.

Coba mana hashtag #Uninstall aplikasi pinjol (pinjaman online) tersebut?
Justru aplikasi atau perusahaan yang merugikan masyarakat itu yang harus dibuzz agar masyarakat teredukasi dan tidak menjadi korban.

Brand Jadi Korban Namun Juga Sebaliknya

Brand seperti Tokopedia bukan jadi yang satu-satunya korban. Dulu kita tahu juga seperti Bukalapak, Traveloka dan Gojek juga terkena hal yang sama, yap semua unicorn di Indonesia.

Kalau dilihat kasusnya, terbilang receh dan kurang menggugah saya untuk mengikuti campaign yang diserukan berbagai netizen. Coba koreksi kalau saya salah ya.

Bukalapak itu dulu kasusnya CEO sekaligus Founder Ahmad Zaky yang cuit di twitter tentang anggaran riset yang kurang. Hal itu dibilang menyindir presiden, lalu auto diserbu para pendukung presiden. Apa salahnya berpendapat apalagi kalau memang faktanya seperti itu?

Traveloka lebih konyol lagi, ketika CEO Ferry Unardi yang ikut walkout di acara Kolese Kanisius kalau tidak salah. Itu terjadi ketika Anies Baswedan berpidato. Padahal faktanya Ferry tidak berada di tempat. Netizen yang cuma ikut-ikutan tanpa kroscek terlebih dahulu jadi ikut support hashtag #UninstallTraveloka.

Kalau Gojek kasus karyawannya yang mendukung LGBTQ bukan ya? Kalau dicek di jejak twitter memang itu. Mungkin kalau ada kasus lainnya, silahkan tulis di kolom response dibawah ya.

Brand yang dibangun reputasinya mendadak down saat itu juga. Tim Marketing yang mengawasi bidang App Marketing panik dan seketika menghancurkan report mereka.

Ketika hal tersebut terjadi, sebagai pihak brand tentu harus segera merespon cepat sebelum menyebar luas. Dan bagusnya Tokopedia diwakili VP Communication langsung merespon.

Membiarkan lebih lama hashtag tersebut membuat netizen yakin dengan tuduhan yang dialamatkan dan membuat mati perlahan.

Sebaliknya, jika cepat merespon dan memberikan klarifikasi, tentu membuat dampak sebaliknya. Brand Tokopedia menjadi diuntungkan karena terkenal.

Coba bayangkan mereka yang membaca hashtag tersebut belum tahu apa itu Tokopedia, justru malah akan penasaran dan mencari tahu apa itu Tokopedia. Akhirnya mereka malah menginstall app tersebut. Jika seperti itu, Tokopedia berhasil melakukan Turn Back.

Twitter Tidak Seperti Yang Dulu

Dulu twitter ini jadi platform cuitan hal-hal yang cukup menghibur. Kita dipaksa mengolah kata agar tidak lebih dari beberapa karakter dan tetap memberikan sebuah makna. Sebuah trending topic mengalir begitu saja karena memang banyak publik yang sedang merayakan sebuah event tertentu.

Saat ini sudah berubah dan mungkin akan terus seperti ini sampai twitter ditinggalkan usernya. Buzzer sudah tidak bisa dihadang lagi. Pemasok dana untuk membayar buzzer membuat twitter tidak lagi menjadi natural.

Ini yang membuat saya mulai malas mengecek trending topic karena selalu ada mereka buzzer yang terus cuit dengan hashtag kampanye apapun. Seringnya semua hal yang berbau politik, karena memang sedang musimnya.

Bahkan sampai pemilu usai pun mereka masih bermain dengan para buzzer ini. Itu berarti dana masih banyak, dan waktunya buzzer dapat untung.

Sebagai Twiiter, banyaknya pengguna menjadi alasan mereka bertahan. Algoritma yang digunakan juga sudah layaknya seperti apa yang diharapkan. Trending topic memang muncul karena intensitas cuitan yang masif dalam waktu yang pendek.

Mungkin jika mau, twitter bisa saja melakukan penghapusan akun-akun dengan melakukan verifikasi lanjutan. Namun seperti itu hanya menghabiskan waktu dan biaya.

Mereka akan memilih untuk meningkatkan performa platform yang memiliki dampak baik untuk para penggunanya.

Tiba di akhir tulisan, saya merasa hashtag #UninstallTokopedia ini lebih ke salah sasaran (harusnya ke aplikasi sesat seperti pinjaman online bodong) dan cenderung dibesar-besarkan. Ya bagaimana tidak besar, ada mereka yang “bermain”.

User yang tidak tahu apa-apa bahkan fans nya Tokopedia pun juga ikut menggunakan hashtag tersebut, tentu ini juga jadi pemicu semakin trending hashtag tersebut.

Namun saya salut dengan respon pihak Tokopedia yang cukup cepat untuk mengklarifikasi hal yang sedang terjadi. Tanpa perlu menyerang dan membela pihak manapun.

Saya tidak berada dalam posisi membela Tokopedia, namun lebih melihat keanehan yang sedang terjadi saat ini. Trending topic di twitter ini sudah jadi tempat bermain para buzzer, dan tidak lagi bersifat natural. Hampir setiap hari, selalu ada hashtag politik yang dibangun. Spamming akan selalu terjadi sampai dana itu habis atau Twitter berbenah diri.

Terima kasih buat yang sudah mampir ke artikel saya ini, semoga bermanfaat. Tak lupa untuk minta maaf jika ada kata-kata yang salah, silahkan tinggalkan komentar untuk saran atau pertanyaan. Sebisa mungkin saya akan respon semuanya.

Temukan artikel saya lainnya di blog saya ariessantoso.web.id dan guelagi.com.

--

--

Aries Santoso

Writer | Sharia Oriented | Startup Enthusiast | Visit my blog at ariessantoso.web.id and guelagi.com